Jumat, 13 Oktober 2017

KAPIT DAN BRUTAL (KAPITAL)???

Sebenarnya dari beberapa buku yang saya baca tentang kapitalis banyak berbagai versi yang menyebutkan apa itu definisi kapitalis. Para ahli ekonomi banyak yang mendefinisikannya secara jelas dalam konteks zamannya, akan tetapi tidak sesuai lagi dengan konteks zaman sekarang. Kapitalis bila di lihat dari beberapa aspek mungkin akan mendukung dan mempermudah kita dalam memehami apa itu kapitalisme. Saya akan menjabarkan kapitalis secara sudut historis dan definisi para ahli dari zaman ke zaman.
Kapitalisme Historis
Kapitalisme berasal dari kata kapital yang berarti modal. Modal merupakan element dasar dari kapitalis sesuai dengan definisinya, namu apa itu modal dalam kapitalis merupakan akumulasi kekayaan baik itu stok barang-barang yang dapat di konsumsi, mesin-mesin produksi atau klaim yang sah atas barang-barang dalam bentuk uang. Modal dalam kapitalis tentu saja menunjuk kepada akumulasi masa lalu yang belum digunakan. Jadi dapat kita simpulkan bahwa seama ini kita seang nelihat sistem kapitalis beroperasi karena setiap peruasaan selalu meakumulasi modal masa lalu yang belum digunakan.
Definisi menurut para ahli
Istilah kapitalisme selalu menjadi hal yang didukung dilain pihak sistem kapitalisme ditolak karena perdebatan dalam memahami dan mengintrepretasikan yang tidak selalu jelas untuk di mengerti. Definisi kapitalis menurut Proudhon (1867) menyatakan bahwa “rezim ekonomi dan sosial, dimana kapital, sebagai sumber pendapatan, pada umumnya bukan milik mereka yang membuatnya melalui kerja”[1]
Menurut Warner Sombart mengakui Kapitalisme sebagai kosep fundamental dari suatu sistem pemikiran ekonomi dalam bukunya Der Moderne Capitalismus.
Sebagai sistem pemikiran Kapitalisme ditandai dengan  tiga semangat yaitu; pemilikan, persaingan dan rasionalitas.[2]
Pandangan milton friedman tentang Kapitalism bangkit menjadi suatu sistem yang diperjuangkan dan dibersihkan dari unsur-unsur sosialisme yang selama ini mengganggu bekerjanya sistem kapitalisme yang “murni”.[3]
Kapitalisme identik dengan suatu sistem perusahaan perorangan yang tidak terkekang, suatu sistem dimana hubungan sosial dan ekonomi diikat dalam suatu kontrak , di mana orang merupakan pelaku bebas dalam mencari kehidupan mereka, serta tidak ada ikatan dan pembatas dan tekanan-tekanan yang sah.
Kapitalisme Klasik
Kapitalisme klasik mencerminkan sebagai sumber yang menyebabkan munculnya kondisi kaum buruh di eropa pada abad pertengahan yang meyebabkan kesengsaraan di kalangan para buruh dan oleh karena kapitalisme klasik ini juga muncul kolonialisasi dan imprealisme. Perkembangan sejarah saat ini telah membuat perombakan bahkan perubahan dari sistem kapitalisme klasik, sehingga yang berlaku sekarang ini adalah sistem ekonomi campuran yaitu pencampuran dari sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi peranan pemerintah.[4] Sistem ekonomi yang ada sekarang dianggap sebagai sistem ekonomi campuran yang dianggap telah mampu menghilangkan unsur-unsur jahat sistem ekonomi kapitalis.
Konotasi sistem ekonomi kapitalisme  yang berkembang di Indonesia ialah negatif yaitu sistem kapitalisme model klasik. Sistem kapitalisme Klasik ini pernah menjadi realita dalam sistem ekonomi di negara Inggris dan Amerika pada abad XIX. Ciri terpenting di dalamnya yaitu;
1.                  Berlangsungnya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil dalam jumlah besar, dimiliki oleh perorangan atau keluarga secara langsung mengemudikan jalan usaha.
2.                  Pengaturan kegiatan ekonomi dilakukan oleh apa yang disebut “pasar” dimana persaingan bebas berlaku secara dominan.
3.                  Terjadinya alokasi buruh atau tenaga kerja diantara para majikan melalui sistem upah atau kontrak kerja dalam meknisme pasar tenaga kerja.
4.                  Negara pada dasarnya tidak melakukan intervensi dalam sistem pasar, melainkan lebih banyak membiarkan sistem pasar bekerja secara bebas.[5]
Neo-liberal
Selama perang dunia II dan sesudahnya muncullah suatu aliran yang dinamakan “neo-liberalisme”. Aliran ini menghendaki pembaharuan/perubahan pada liberalisme klasik. Kaum neo-liberal ini menginginkan intervensi pemerintah dalam proses ekonomi yang bertujuan agar pembentukan harga secara bebas.[6] Akan tetapi seorang moneteris anobel F.A Hayek pernah berkata secara terbuka bahwa sebuah masyarakat yang berbasis pasar bebas secara konsisten akan menciptakan kesempatan-kesempatan yang tidak adil dan tidak pada tempatnya. Pernyataan ini menunjuk pada keuntungan umum yang dicapai semua orang atas maksimalnya kesempatan-kesempatan pertukaran dan pilihan industri.
Kapitalisme Modern
Berasal dari Inggris pada abad 18 dan kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara.
Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang dicirikan oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif.[7]


[1] Baca, M Dawam Raharjo Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta; LP3ES, 1987)
[2] Baca keterangan warner Sombart dalam article “Capitalism”dalam Encyclopaedia of sosial sciences, vol. 3-4, hal.195.
[3] Pandangan Milton Friedman dalam buku Kapitalism and Freedom, (Chicago: The University of Chicago Press, 1971)
[4] Paul A. Samuelson & Peter Timmer Economics, Mac Graw-Hill Kogakusha, Ltd, 1976, hal. 41-43 dan 831.
[5] Ciri ini dirumuskan oleh N. Abercombrie dalam The Dictionary of Sosiology, Penguin, 1984 lihat hal. 31.
[6] Baca Kapitalisme Versus Sosialisme suatu analisis ekonomi teoritis, Winardi, Remadja Karya, 1986 hal. 33
[7] Milton H.Spencer, Contemporary Macro Economics, 1977 hal. 29

Sabtu, 07 Oktober 2017

ANTARA NASEHAT DAN GHIBA



Oleh
Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz

Telah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, khususnya point yang keempat, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara :
Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq ‘Alaih] [2]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.” Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.” Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar).”[3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin. “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya
1. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
2. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas..
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
مَا بَالُ رَجُالٌ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ أَشْيَاءَ أَتَرَخَّصُ فِيْهَا؟ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ للَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِحُدُوْدِهِ
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
مَابَالُ رِجَالٍ يَقُوْلُ أَحَدُهُمْ : اَمَّا اَنَا فَأَصُوْمُ وَلاَ أُفْطِرُ؟ وَيَقُوْلُ الآخَرُ : اَمَّا اَنَا فَأَقُوْمُ وَلاَ أَنَامُ ؟ ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَ اَكُلُ الَّلحْمَ؟ لَكِنِّي أَصُوْمُ وَ أَفْطِرُ وَ أَقُوْمُ وَأَنَامُ وَأَتَزَّوَجُ النِّسَاءَ وَاَكُلُ اللَّحْمَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ ، ولا إِلى صُوَرِكمْ ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وأعمالكم
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid/57 : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan/25 : 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah/9 :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ سَمَّاعُونَ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah/9 : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid [17] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
.
اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ, وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ. وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan “اللي ” artinya adalah dusta, dan “الإعراض ” adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا رُزِقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]





Minggu, 20 Agustus 2017

Rambe Center : SEJARAH MARGA RAMBE

Rambe Center : SEJARAH MARGA RAMBE: SEJARAH TUAN SUMERHAM DAN RAMBE Raja Rambe    Dimulai dari Toga Sumba, mempunyai anak dua orang yaitu Toga Simamora dan Toga Sihomb...

Sabtu, 19 Agustus 2017

JANGAN BERCERMIN DI AIR KERUH

Mengapa terkadang kita lebih menikmati kepura-puraan di tangan yang ahli daripada ketulusan oleh amatiran??

saya ingin memposting tentang statement diatas,tapi bahan rujukan belum dapat, so?? sampai disini dulu.
 

berrsambung,,

Rabu, 16 Agustus 2017

SUDAH SIAPKAH SAYA???

ASSALAMU ‘ALAIKUM WAROHMATULLAHI WABARO KATUH,,,

Sesungguhnya segala puji bagi Allah.Kita memuji-Nya dan memohon dan petunjuk serta ampunan kepada-Nya.Dan kita juga memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Rasulullah saw,keluarganya,segenap sahabatnya,dan seluruh mukmin yan menaatainya.
Tepat di Hari Ulang Tahun Ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia ini semoga bangsa kita menjadi bangsa yang besaar,,,Aamiin.
Mendengar kata 72 Tahun,terlintas di pikiran saya adalah tua dan melemah, dari itu saya ingin mengingatkan diri saya pribadi dan kita semua tentang  Firman Allah Surah An-Nahl (16):70

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ ۚ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَىٰ أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لَا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ


Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. 

Ayat diatas menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang Allah metikan semasa muda dan ada yang diberi umur sampai tua renta sehingga kekuatannya berkurang,panca inderanya menjadi lemah,dan akalnya kembali seperti akal kanak-kanak sebagaimana Allah berfirman:Surat Yasin:68

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ ۖ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang lanjut usia akan mengalami kemunduran mental dan kelemahan berfikir seperti masa kanak-kanak .Imam Bukhari dan Ibnu Mardawiah meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw.mengucapkan do’a:

“Ya Allah ,aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan,kemalasan,rasa takut,dan umur yang hina.Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan aku berlindung kepada-Mu dari kehidupan dan kematian yang tidak baik.”(HR.Bukhari dan Ibnu Mardawiah)
Hadist di atas menyebutkan adanya umur yang hina sebagaimana tersebut pada kedua ayat diatas.Yang dimaksud dengan umur hina menurut keterangan ‘Ali bin Abi Thalib yaitu orang yang mencapai umur 75 tahun ke atas.

Orang yang mencapai umur setua ini dinyatakan sebagai orang yang mengalami pembalikan mental dan akalnya kembali ke masa kanak-kanak.Karena tuanya ia lupa dengan apa yang telah dikenalnya,bahkan tidak laigi bias membedakan bersih dan kotor,perbuatan memalukan dan tidak memalukan,sebagai mana terjadi pada kanak-kanak.

Kita yang memiliki orang tua lanjut usia harus benar-benar memahami kondisi mental dan akal orang tuanya yang memeng secara fitrah mengalami kemunduran yang hebat.Sebagaimana disebut pada ayat diatas,orang tua yang mencapai umur lanjut ini hilang pengetahuannya,sehingga menjadi orang yang tidak lagi tahu apa-apa.Hal ini tentu membuat anak sangat sulit berkomunikasi dan berbicara dengan orang tuanya.Bahkan sering membuat anak tidak sabar dan jengkel menghadapi orang tua yang tidak mengerti dan memahami apa yang dibicarakan.

Oleh karena itu ,Allah SWT.memperingatkan dengan keras agar anak benar-benar menyadari bahwa orang tuanya yang telah lanjut usia ini telah kehilangan pengetahuan dan pengenalan sehingga kembali menjadi orang yang tidak tahu apa-apa seperti kanak-kanak.Dengan pemahaman dan pengertian anak yang mendalam,anak akan memiliki kesabaran dan ketabahan ketika orang tua yang lanjut usia ini menunjukkan perilaku yang dianggap menjengkelkan.Misalnya,kencing disembarang tempat atau mengompol karena tidak lagi bias membedakan mana kamar kecil dan mana kamar tidur,mana air yang bersih dan mana air yang kotor,mana tempat tidur yang bersih dan mana tempat tidur yang kotor.Bahkan karena tuanya,mereka senantiasa lupa sehingga tidak lagi mengenal nama anaknya sendiri.Hal-hal semacam ini sudah pasti membuat anak jengkel sehingga akan memperlakukan mereka secara kurang baik.Hal-hal semacam ini harus kita sadari secara mendalam oleh kita para anak supaya tidak terjadi munculnya perlakuan kurang baik terhadap orang tua kita kelak yang lanjut usia karena kurangnya pengertian kita sebagai anak tentang kondisi mental dan akal orang tua kita.

Tegasnya ,kita sebagai anak wajib menyadari sepenuhnya bahwa telah menjadi ketetapan Allah sejak zaman Adam AS.sampai berakhirnya dunia ini bahwa orang-orang yang mencapai usia lanjut pasti akan mengalami kemunduran mental dan akal.Oleh karena itu,kita sebagai anak wajib memperlakukan orang tua usia lanjut dengan sikap sabar,penuh pengertian,dan tawakkal kepada Allah.