Oleh
Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
Telah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya
dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka
sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah,
khususnya point yang keempat, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan
penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i,
di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara
berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara :
Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari
keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu
dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin
(orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan
yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa
menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan
ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam
hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga
dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk
bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak
boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada
padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir
mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu
darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan
berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan
keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata
maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan
padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara
adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut,
dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini
diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam
pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa
disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau
karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang
semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi
agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas,
atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat
kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha
untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas
relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk
berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari
hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ
عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk
menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia
untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq ‘Alaih] [2]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ
يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya
mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki
harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.” Dan
dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.”
Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat
dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian
(safar).”[3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah
Riyadhus Shalihin. “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah
ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang
enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu
risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu
minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi
kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya
sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami
telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan
As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah
dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu
dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam
tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang
mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas
yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil
maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa
yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana
ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya
1. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan
keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali
kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
2. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi
sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa
dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan
nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah
sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas..
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah
“mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu
muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai
sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan
suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan
lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada
batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam
berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan
yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang
artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya
termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar
ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain
lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat,
kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak
dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut
nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang
tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat
demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah
yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara
manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa
disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?!
Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah
diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri
terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud
dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli
bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang
diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal
yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi
apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan
menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan
dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis
dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka
pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah
meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya,
maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah
termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh
Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang
keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan
perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila
mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda.
مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا
لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ
فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab
Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia
itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
مَا بَالُ رَجُالٌ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ
أَشْيَاءَ أَتَرَخَّصُ فِيْهَا؟ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ للَّهِ
وَأَعْلَمُكُمْ بِحُدُوْدِهِ
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi
Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling
tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
مَابَالُ رِجَالٍ يَقُوْلُ أَحَدُهُمْ :
اَمَّا اَنَا فَأَصُوْمُ وَلاَ أُفْطِرُ؟ وَيَقُوْلُ الآخَرُ : اَمَّا اَنَا
فَأَقُوْمُ وَلاَ أَنَامُ ؟ ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ،
ويَقُوْلُ الآ خَرُ : لاَ اَكُلُ الَّلحْمَ؟ لَكِنِّي أَصُوْمُ وَ أَفْطِرُ وَ
أَقُوْمُ وَأَنَامُ وَأَتَزَّوَجُ النِّسَاءَ وَاَكُلُ اللَّحْمَ، فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan
selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya
akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya
tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan
makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan
tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap
sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus
menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang
menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan
haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan
seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku,
(kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru
mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan
anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam
urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah
binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang
saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir
tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita”
dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau
menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi
hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini
adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang
akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan
menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan
yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan
nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para
penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka
tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ
النَّصِيْحَةُ
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada
Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin
pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura,
“Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan
kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat,
beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia
untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat
dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah
atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada
Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai
mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya
berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad
bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan
si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka
kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan
bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik
tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan
peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih
engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang
yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa
dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli
bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.”
Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada
umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan
Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta
menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk
menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah
dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka
menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati
dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli
bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
إنَّ الله لا ينْظُرُ إِلى أجْسَامِكُمْ ،
ولا إِلى صُوَرِكمْ ، وَلَكن ينْظُرُ إلى قُلُوبِكمْ وأعمالكم
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta
kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا
بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ
النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ
بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid/57 : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca
(keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi,
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah
Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan/25
: 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah
mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal
di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau
hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang
munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua
kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ
وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah/9 :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan
menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka
rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum
kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut,
sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu
pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa
bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga
mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya
menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada
bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah
Subhana wa Ta’ala berfirman.
لَوْ خَرَجُوا فِيكُمْ مَا زَادُوكُمْ
إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيكُمْ
سَمَّاعُونَ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah
kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka
dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di
antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At
Taubah/9 : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari
apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan
yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok
kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus
adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan
mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka
sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya
dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan
serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula
menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam
hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang
yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang
mujtahid [17] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas
ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang
sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus
bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi
kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah
syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan
tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah
telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya
dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya,
berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik
sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti
Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan
kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang
sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id
Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia
itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan
disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal
bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk
berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah
Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu
semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau
terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda
.
اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ,
وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ.
وَرَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي
اَلنَّارِ. وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ,
فَهُوَ فِي اَلنَّارِ
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di
surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan
kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada
manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran,
maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka
dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا
قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ
الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ
أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ
تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan “اللي ” artinya adalah dusta, dan “الإعراض ” adalah menyembunyikan kebenaran dan yang
semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا رُزِقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا وَإِنْ
كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk
memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila
keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya
mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan
menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya
terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus
mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi
bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya
seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia
berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin
di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini
sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan
saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh”
tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya
tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana
Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan
kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat
adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau
kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka
imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding
dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan
Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX
7819 CC JKTM]